KOBHUNG, GENDER, AND RELIGION: HUSBAND AND WIFE POWER RELATIONS IN MADURESE CULTURE
Keywords:
Kobhung, Taneyan Lanjheng, dan Panoptikon, Kobhung, Taneyan Lanjheng, and PanopticonAbstract
Salah satu keunikan masyarakat Madura sampai saat ini adalah konsep kobhung yang menjadi tempat penting untuk aktivitas keagamaan maupun mengawasi aktivitas anggota keluarga. Walaupun ada fungsi lain yaitu fungsi ekonomi maupun sosial yang dimainkan oleh kobhung tersebut. Riset ini membahas peran kobhung di tengah kebudayaan Madura; yang posisinya berada di sebelah Barat (kiblat) taneyanlanjheng (halaman panjang) di setiap permukiman penduduk. Ia berfungsi sebagai pusat aktivitas laki-laki (suami) untuk melakukan transfer nilai religi kepada anak-anak atau isteri mereka. Di sisi lain, ia juga sebagai simbol pengawasan dan kontrol (panopticon) keluar-masuk anggota keluarga, terutama laki-laki (suami) atas perempuan (istri). Hal ini terlegitimasi oleh tradisi patriarkal di masyarakat Madura yang tercermin dalam konsep bhupa’, bhabhu, ghuru, rato sangat kental. Konsep ini merupakan sebuah referential standard kepatuhan masyarakat Madura terhadap figur-figur utama secara hirarkis. Oleh sebab itu, riset ini mengurai dinamika budaya dan upaya istri dalam memposisikan diri mereka di tengah budaya patriarkhi. Riset ini lebih masuk pada jenis kualitatif fenomenologi yang meneropong dinamika relasi suami-istri tersebut melalui peran kobhung. Koleksi data yang digunakan adalah tehnik interview dan observasi; sedangkan analisis data memakai analisis interaktif Miles dan Hubermann. Riset ini menemukan bahwa perempuan di panagguan tidak bisa lepas dari konsep “tri aksi”, antara lain: adhandhan, arembi’, dan amassa’(merawat diri, melahirkan, dan memasak). Konsep ini merupakan wujud dari pengabdian dirinya atas keluarga yang diyakini sebagai kodrat (takdir). Karenanya, mereka sama sekali tidak menggugat; bahkan ia menerima dengan lapang dada tentang perannya di dalam rumah tangga.
Kata Kunci: Kobhung, TaneyanLanjheng, Panoptikon
One of the uniqueness of the Madurese community until now is the concept of kobhung which has become an important place for religious activities and oversees the activities of family members. Although there are other functions, namely the economic and social functions played by the kobhung. This research discusses the role of kobhung among Madura culture; whose position is in the west (qibla) taneyan lanjheng (long yard) in each residential area. It functions as a center for male (husband) activity to transfer religious values to their children or their wives. On the other hand it functions as a symbol of supervision and control (panopticon) of family members, especially men (husbands) over women (wives). This is legitimized by the patriarchal tradition in the Madurese community which is reflected in the concepts of bhupa’, bhabhu , ghuru, rato that was very thick. This concept is a referential standard of Madurese compliance with hierarchical main figures. Therefore, this research outlines the cultural dynamics and the efforts of the wives in positioning themselves during patriarchal culture. This research is more into the qualitative type of phenomenology that looks at the dynamics of the husband-wife relationship through the role of kobhung. The data collection used was interview and observation techniques; while data analysis used the interactive analysis by Miles and Hubermann. This research found that women in Panagguan cannot be separated from the concept of “three-action”, among others: adhandhan, arembi’, and amassa’ (taking care of themselves, giving birth, and cooking). This concept is a manifestation of the devotion to the family which is believed to be natural (destiny). Therefore, they don’t sue at all; they even received gracefully about their role in the household.
Keywords: Kobhung, Taneyan Lanjheng, Panopticon